Minggu, November 09, 2008

KEMANAKAH AURA RUHANIYAH ITU ???

Dalam kesempatan tgl 30 Oktober 2008 saya berkesempatan mengunjungi kawan-kawan di kampus UPM Jl. Gatot Subroto setelah sekitar enam bulan saya cuti dan meninggalkan kampus. Saya datangi semua jurusan yang ada di lingkungan UPM dan juga gedung rektorat. Pertama yang saya sambangi adalah ruangan jurusan Falsafah dan Agama, dimana saya pernah memimpin jurusan tersebut satu periode untuk menemui ketua Jurusan saat ini, Sdr. Suratno, MA dan dosen-dosen lain. Di tangga ke ruangan saya juga berjumpa Sdr. Dr. Lufhfi Assyaukanie, MA sahabat dan adik kelas saya di pesantren Attaqwa, Bekasi. Dari situ saya ke Jurusan Ikom, TI, Psikologi, HI dll, kemudian ke ruang rektorat.

Dalam kunjungan singkat tersebut saya berjumpa beberapa kawan baik dosen, maupun staff dan juga mahasiswa, walau sebagian dosen ada yang sedang mengajar. Juga saya jumpai para satpam, OB, kepegawaian, dsb. Selama kunjungan singkat saya tersebut, ada rasa – bagi saya – tidak terasa aura ruhaniyah, yang selama ini menjadi ciri khas Paramadina dengan tokohnya Cak Nur, seorang Sufi Besar Modern. Walaupun CN tidak suka dikultuskan dengan pemberian atribut yang berkenaan dengan dirinya, seperti misalnya yang dilakukan oleh Sdr. Sukandi melalui kumpulan artikel yang diterbitkan menjadi sebuah buku dengan judul, ”Tarekat Nurcholisiyah”, CN tidak menyetujui judul tersebut, dan pada cetakan berikutnya diubah judulnya. Begitu juga dengan penempelan atribut lainnya. Tapi bagi saya yang sudah mengenal CN sejak permulaan berdirinya UPM (waktu itu masih Universitas ParamadinaMulya) dan bahkan mengikuti kuliah beliau di Pasca Sarjana Falsafah dan Agama (S2) dan juga umrah bareng beliau dan sedikit banyak tahu kehidupan beliau dan juga banyak tahu kehidupan Kiayi-Kiayi di Jakarta, bahwa CN adalah seorang Sufi Besar. Dari sisi kehidupan beliau dan juga pemikirannya mencerminkn hal ini. Dalam kehidupan sehari-hari beliau sangat bersahaja, begitu tempat tinggal dsb. Berbeda dengan Kiayi di Jakarta (sengaja saya tidak mau menyebutkan nama mereka) sangat berbeda. Belum lagi komitmen moral CN, tidak akan bisa dibandingkan dengan Kiayi tersebut. Jadi CN sebenarnya adalah ’manusia dan barang langka’ dalam panutan (qudwah) seiramanya antara ucapan dengan perbuatan. Inilah moralitas. Dan moralitas ini yang tidak dimiliki oleh banyak para Kiayi dan Ustaz di Jakarta. Bahkan mereka banyak juga yang memalsukan gelar, terutama dari Timur Tengah, baik Lc maupun MA, padahal sebenarnya mereka tidak atau belum mendapatkan gelar tersebut. Lagi-lagi moral bung...

Kembali ke masalah aura spiritual kampus UPM tadi pasca CN, saya merasakan telah hilang dari kampus. Hal ini mungkin tidak ada perbedaan bagi orang lain, atau bagi kalangan yang tidak mengenal CN atau juga bagi para staf dan dosen di luar core disiplin keilmuwan CN. Saya juga mendapat info yang membenarkan pandangan saya terebut dari kawan-kawan lama yang selama ini akrab dengan CN dan kebanyakan mereka sudah tidak berada di lingkungan UPM lagi. Walau secara manajerial UPM saat ini sudah mencapai kemajuan tidak dapat dipungkiri. Keberhasilan yang dicapai oleh para pimpinan UPM saat ini, masih tidak ada ’artinya’ dimata CN tanpa pengakuan terhadap pendahulu para pendiri UPM termasuk CN di dalamnya. CN dalam setiap kesempatan di UPM selalu mengutip pepatah bahasa Arab yang sering diulang-ulang dan juga saya ulang ketika terjadi pergantian pimpinan dari Prof. Dr. Ir. Marsudi W. Kisworo kepada penggantinya M. Sohibul Iman, Phd. Pepatah tersebud adalah, ’al-Fadlu li al-Mubtadi wa in Ahsana al-Muqtadi’. Maknanya kira-kira, ‘ Yang patut diacungkan jempol dan diapresiasi adalah para pendiri (orang yang memulai) walaupun penerusnya labih baik).

Ungkapan CN tadi menjadi ‘wasiat’ beliau sebetulnya bagi penerus CN baik pimpinan, dosen dan seluruh sivitas akademika UPM. Meninggalkan hakikat CN dari UPM adalah sebuah kezaliman dan kezaliman adalah perlakuan tingkat tinggi amoral dan karenanya menjadi sebuah dosa, yang sering diungkapkan CN menjadi zulmani.

Wallahu A’lam apakah yang saya rasakan itu sebagai out-put dari apa yang ungkapan, saya juga tidak tahu. Barangkali para Assabiqunal Awwalun UPM bisa menjelaskan? Wallahu A’lam bisshawab.

Tidak ada komentar: