Sabtu, Maret 07, 2009
CINA MELUMAT HABIS AFRIKA
CINA MELUMAT AFRIKA
Kunjungan Presiden Cina, Hu Jin Tao Ke Afrika belum lama ini mengisyaratkan ’tagalgul’ dan pelalangbuanaan Cina di benua hitam tersebut dengan lebih kencang dan penetrasi lebih dalam tanpa gembar gembor. Pepatah Cina mengatakan, ’untuk mengambil harus tahu memberi’. Nampaknya pepatah sederhana ini telah berubah menjadi ’ penyemangat’ dalam mekanisme ekonomi Cina yang melompat menjadi propaganda yang dikampanyekan dalam perang ekonomi dilakukan dengan menggebu-gebu, dan jauh dari hingar bingar media setempat di Afrika, dimana pada waktu belum terlalu lama masih menjadi ’surga’ bagi Perancis dimana sebelumnya Inggris lebih menguasai pada masa pasca penjajahan fisik.
Di bawah bayangan krisis keuanan global, Cina tetap dan terus menggempur gurun pasir dan padang tandus Afrika, seolah-olah krisis keuangan global tidak terasa dan tidak ada. Buktinya, Presiden Hu Jin Tao melanglang buana memulai perjalannya ke Afrika, dimulai dari Senegal di ujung Barat, Mali di tengah, Tanzania dan Kepulauan Mourisius di Timur, dimana negara-negara tersebut memainkan peranan cukup penting dalam percaturan politik, ekonomi tradisonal dan sejarah - dalam dekade penjajahan Perancis dulu -dan sekarang menjadi negara demokrati. Apakah Cina akan menggantikan peran Perancis di Afrika yang sekarang telah mengendur perannya? Apakah Cina telah mendapatkan sumber-sumber ’harta karun’ Afrika – bahwa kendurnya Perancis di Afrika karena alasan-alasan ekonomi dan politis dan sekarang saatnya untuk memotong jalan dan membegalnya dengan tidak memberikan kesempatan bagi Perancis untuk kembali lagi ke Afrika?
Kendati Menlu Cina telah menegaskan di awal kunjungan Presiden Hu Jin Tao bahwa hubungan Cina dengan negara-negara Afrika, bukan hanya didasarkan pada kekayaan energi dan ’harta karun’ yang terpendam di perut bumi benua hitam tersebut semata, akan tetapi nilai dan volume investasi Cina di benua Afrika menandakan bahwa kekuatan ekonomi Afrika yang menanjak dengan segala konsekuensinya dan menggantikan posisi Perancis yang semakin jauh dari Afrika - didasarkan pada kepentingan politik Cina yang cerdas, smooth dan seimbang yang tidak dilepaskan dari iming-iming kepada para penguasa Afrika, termasuk mereka juga menolak intervensi asing terhadap masalah dalam negeri mereka. Hal ini berbeda dengan pola yang dilakukan Perancis terhadap negara-negara Arika khususnya, dan negara-negara Eropa pada umumnya, yang lebih mengetengahkan dan mempersoalkan – sesuai dengan maslahat dan kepentingan mereka dengan menggunakan tohoan masalah ’HAM’ sebagai tongkat dan cambuk - sebagai syarat diantara syarat-syarat investasi dan berinteraksi dengan penguasa Afrika yang ada.
Cina – disamping hal diatas – juga menguasai politik dan ekonomi benua Afrika yang saling menguntungkan (naf’iyyah). Kullu hammiha adalah mengadakan bagaimana mengadakan kontrak investasi jangka panjang (long investment) yang menggunakan semua mekanisme untuk mensukseskan tujuannya. Cina membangun infrastruktur dikawasan benua hitam tersebut seperti jalan raya sebagai jantung transportasi, jembatan, rumah sakit, membenahi lembaga-lembaga pemerintah dalam mengeimplementasikan saling mendapatkan manfaat yang akhirnya menjamin keuntungan yang sangat besar dalam jangka panjang (Politik mengambil hati).
Fleksibilitas Cina dalam mengadakan kerjasama dan hubungan dengan pemerintah Afrika, dimana mayoritas penguasa Afrika naik ke kekuasaan biasanya dengan jalan kekeraan seperti kudeta militer atau konflik etnis yang berkepanjangan – yang oleh masyarakat internasional dipandang dengan kacamata ’geram’, sehingga negara-negara Afrika bersedia melakukan investasi besar-besaran dengan Cina dan menganggapnya sebagai mitra yang dipercaya, karena persoalan tadi bahwa Cina tidak mencapuri urusan dalam negeri mereka (Afrika).
Cina memperlakukan Afrika sesuai dengan konsep strategi ekonomi yang ’milestone’nya sudah diagendakan pada KTT Cina-Afrika di Beijing Nopember 2006; lalu dari KTT tersebut muncul strategi dan taktik implementasi yang dilempar untuk mewujudkan beberapa sasaran dan target jangka pendek selama 3 tahun ke depan. Taktik ini didasarkan pada paradigma bagaimana ’menyabet’ dan menyapu semua harta karun ’Afrika’ melalui dukungan yang berlipat ganda kepada negara-negara Afrika dan menghapus hutang mereka sebanyak 168 buah hutang yang tersebar di 33 negara Afrika. Berkat sytrategi yang diterapkan tersebut, Cina telah berhasil melakukan kontrak dan kesepakatan dengan 48 buah negara Afrika dari 53 buah negara di benua Afrika (hanya 5 negara saja yang belum dirambah) dan berambisi pencapaian volume dan nilai perdagangannya sebesar USD $ 1 miliar, sehingga menjadi investor terbesar di Afrika dalam bidang infrastruktur.
Di Senegal, misalnya Cina masuk dalam industri baja (besi), fosfat dan emas. Group Henan telah memenangkan kontrak dalam pembangunan proyek jalan raya, jembatan dan bendungan (sungai); sedangkan perusahaan telcom Cina, Huawei co menguasai sektor telekomunikasi dan wireless di seluruh benua Afrika, disamping masuk dalam produksi minyak Senegal yang produksinya sudah mencapai 1 miliar barel. (Catatan: Libyan Telcom and Technology (LTT) telah melakukan kontrak dalam pengembangan jasa telkom di Libya dan mengembangkan WIMAX dalam bidang telekomunikasi dengan prusahaan Cina Huawei).
Di Mali, emas menjadi ‘garapan’ Cina, dimana Mali sebagai produsen emas terbesar ketiga di Afrika sesudah Afrika Selatan dan Ghana. Walaupun investasi di bidang ini biasanya dilakukan oleh Afrika Selatan dan Canada, sesungguhnya Cina sudah menancapkan kukunya lebih cepat dan mengambil harta karun serta kekayaan Mali hanya soal waktu saja, karena sesungguhnya Cina membiayai proyek besar produksi gula di Selatan negara tersebut setelah membuat proyek lain yaitu pabrik pemintalan dan produksi pakaian jadi yang siap ekspor.
Di Tanzania, Cina bisa meyakinkan pemerintah Tanzania untuk mengolah lahan sawah seluas 330 Ha untuk memproduksi padi dengan nilai investasi sebesar USD $ 143 juta. Cina mengharapkan dari proyek ini sebagai sumber jaminan ketahanan pangan baru Cina, dan selanjutnya Cina akan membuat 15 buah proyek serupa di Afrika. Cina juga tidak membiarkan garis pantai Afrika Timur sepanjang 2300 km yang potensial terbengkalai begitu saja. Oleh karena itu Cina meningkatkan investasinya di Kepulauan Mourisius, dimana perusahaan Cina, Group Tian Li menginvestasikan dana sebesar USD $ 500 juta untuk membangun (markab shina’i) raksasa dengan bekerjasama dengan 40 perusahaan Cina lainnya dari berbagai bidang.
Statistik mengatakan bahwa Cina sudah ‘menelan’ hampir seluruh benua Afrika dari berbagai penjuru, Utara, Selatan, Timur dan Barat. Sehingga tidak ada lagi negara lain yang bisa menandinginya sesudah Afrifa menjadi ‘traktor’ yang menjamin ketahangan pangan bagi Cina dan menjadi komoditas utama gudangnya. Cina telah menginvestasikan dana di Al-Jazair sebesar 812 juta euro, di Sudan sebesar 15 miliar euro, di Chad sebesar 530 juta euro, Niger sebesar 330 juta euro dan di Guinea sebesar 69 juta euro. Meninjau besarnya volume investasi Cina di benua Afrika, bisa dikatakan bahwa benua Afrika di masa mendatang akan berbicara bahasa Cina dengan lancar (hahaha...) apabila Afrika tidak mempunyai bahasa kedua (2nd languages), kendati media massa masih fokus pada konflik (berebut pengaruh) antara AS dan Perancis di benua hitam tersebut. Akan tetapi ‘fakta dan data’ yang ada di depan mata menegaskan bahwa konflik tersebut telah masuk ke dalam ‘buku sejarah’ dan Cina buktinya telah menjadi kekuatan ekonomi yang menancap dalam di benua hitam tersebut. Bahkan dengan cara yang cerdas dan smooth tanpa gembar-gembor ‘dentuman bom dan kapal perang, juga tanpa mencari pangkalan militer kecuali hanya mencari yang mengenyangkan perut dan kantong, Cina sudah lbih dulu melahap ‘makanan’ isi perut benua Afrika.
Mohamed Saleh Majid,
Al-Arab Int., 17 Februari 2009.
Kunjungan Presiden Cina, Hu Jin Tao Ke Afrika belum lama ini mengisyaratkan ’tagalgul’ dan pelalangbuanaan Cina di benua hitam tersebut dengan lebih kencang dan penetrasi lebih dalam tanpa gembar gembor. Pepatah Cina mengatakan, ’untuk mengambil harus tahu memberi’. Nampaknya pepatah sederhana ini telah berubah menjadi ’ penyemangat’ dalam mekanisme ekonomi Cina yang melompat menjadi propaganda yang dikampanyekan dalam perang ekonomi dilakukan dengan menggebu-gebu, dan jauh dari hingar bingar media setempat di Afrika, dimana pada waktu belum terlalu lama masih menjadi ’surga’ bagi Perancis dimana sebelumnya Inggris lebih menguasai pada masa pasca penjajahan fisik.
Di bawah bayangan krisis keuanan global, Cina tetap dan terus menggempur gurun pasir dan padang tandus Afrika, seolah-olah krisis keuangan global tidak terasa dan tidak ada. Buktinya, Presiden Hu Jin Tao melanglang buana memulai perjalannya ke Afrika, dimulai dari Senegal di ujung Barat, Mali di tengah, Tanzania dan Kepulauan Mourisius di Timur, dimana negara-negara tersebut memainkan peranan cukup penting dalam percaturan politik, ekonomi tradisonal dan sejarah - dalam dekade penjajahan Perancis dulu -dan sekarang menjadi negara demokrati. Apakah Cina akan menggantikan peran Perancis di Afrika yang sekarang telah mengendur perannya? Apakah Cina telah mendapatkan sumber-sumber ’harta karun’ Afrika – bahwa kendurnya Perancis di Afrika karena alasan-alasan ekonomi dan politis dan sekarang saatnya untuk memotong jalan dan membegalnya dengan tidak memberikan kesempatan bagi Perancis untuk kembali lagi ke Afrika?
Kendati Menlu Cina telah menegaskan di awal kunjungan Presiden Hu Jin Tao bahwa hubungan Cina dengan negara-negara Afrika, bukan hanya didasarkan pada kekayaan energi dan ’harta karun’ yang terpendam di perut bumi benua hitam tersebut semata, akan tetapi nilai dan volume investasi Cina di benua Afrika menandakan bahwa kekuatan ekonomi Afrika yang menanjak dengan segala konsekuensinya dan menggantikan posisi Perancis yang semakin jauh dari Afrika - didasarkan pada kepentingan politik Cina yang cerdas, smooth dan seimbang yang tidak dilepaskan dari iming-iming kepada para penguasa Afrika, termasuk mereka juga menolak intervensi asing terhadap masalah dalam negeri mereka. Hal ini berbeda dengan pola yang dilakukan Perancis terhadap negara-negara Arika khususnya, dan negara-negara Eropa pada umumnya, yang lebih mengetengahkan dan mempersoalkan – sesuai dengan maslahat dan kepentingan mereka dengan menggunakan tohoan masalah ’HAM’ sebagai tongkat dan cambuk - sebagai syarat diantara syarat-syarat investasi dan berinteraksi dengan penguasa Afrika yang ada.
Cina – disamping hal diatas – juga menguasai politik dan ekonomi benua Afrika yang saling menguntungkan (naf’iyyah). Kullu hammiha adalah mengadakan bagaimana mengadakan kontrak investasi jangka panjang (long investment) yang menggunakan semua mekanisme untuk mensukseskan tujuannya. Cina membangun infrastruktur dikawasan benua hitam tersebut seperti jalan raya sebagai jantung transportasi, jembatan, rumah sakit, membenahi lembaga-lembaga pemerintah dalam mengeimplementasikan saling mendapatkan manfaat yang akhirnya menjamin keuntungan yang sangat besar dalam jangka panjang (Politik mengambil hati).
Fleksibilitas Cina dalam mengadakan kerjasama dan hubungan dengan pemerintah Afrika, dimana mayoritas penguasa Afrika naik ke kekuasaan biasanya dengan jalan kekeraan seperti kudeta militer atau konflik etnis yang berkepanjangan – yang oleh masyarakat internasional dipandang dengan kacamata ’geram’, sehingga negara-negara Afrika bersedia melakukan investasi besar-besaran dengan Cina dan menganggapnya sebagai mitra yang dipercaya, karena persoalan tadi bahwa Cina tidak mencapuri urusan dalam negeri mereka (Afrika).
Cina memperlakukan Afrika sesuai dengan konsep strategi ekonomi yang ’milestone’nya sudah diagendakan pada KTT Cina-Afrika di Beijing Nopember 2006; lalu dari KTT tersebut muncul strategi dan taktik implementasi yang dilempar untuk mewujudkan beberapa sasaran dan target jangka pendek selama 3 tahun ke depan. Taktik ini didasarkan pada paradigma bagaimana ’menyabet’ dan menyapu semua harta karun ’Afrika’ melalui dukungan yang berlipat ganda kepada negara-negara Afrika dan menghapus hutang mereka sebanyak 168 buah hutang yang tersebar di 33 negara Afrika. Berkat sytrategi yang diterapkan tersebut, Cina telah berhasil melakukan kontrak dan kesepakatan dengan 48 buah negara Afrika dari 53 buah negara di benua Afrika (hanya 5 negara saja yang belum dirambah) dan berambisi pencapaian volume dan nilai perdagangannya sebesar USD $ 1 miliar, sehingga menjadi investor terbesar di Afrika dalam bidang infrastruktur.
Di Senegal, misalnya Cina masuk dalam industri baja (besi), fosfat dan emas. Group Henan telah memenangkan kontrak dalam pembangunan proyek jalan raya, jembatan dan bendungan (sungai); sedangkan perusahaan telcom Cina, Huawei co menguasai sektor telekomunikasi dan wireless di seluruh benua Afrika, disamping masuk dalam produksi minyak Senegal yang produksinya sudah mencapai 1 miliar barel. (Catatan: Libyan Telcom and Technology (LTT) telah melakukan kontrak dalam pengembangan jasa telkom di Libya dan mengembangkan WIMAX dalam bidang telekomunikasi dengan prusahaan Cina Huawei).
Di Mali, emas menjadi ‘garapan’ Cina, dimana Mali sebagai produsen emas terbesar ketiga di Afrika sesudah Afrika Selatan dan Ghana. Walaupun investasi di bidang ini biasanya dilakukan oleh Afrika Selatan dan Canada, sesungguhnya Cina sudah menancapkan kukunya lebih cepat dan mengambil harta karun serta kekayaan Mali hanya soal waktu saja, karena sesungguhnya Cina membiayai proyek besar produksi gula di Selatan negara tersebut setelah membuat proyek lain yaitu pabrik pemintalan dan produksi pakaian jadi yang siap ekspor.
Di Tanzania, Cina bisa meyakinkan pemerintah Tanzania untuk mengolah lahan sawah seluas 330 Ha untuk memproduksi padi dengan nilai investasi sebesar USD $ 143 juta. Cina mengharapkan dari proyek ini sebagai sumber jaminan ketahanan pangan baru Cina, dan selanjutnya Cina akan membuat 15 buah proyek serupa di Afrika. Cina juga tidak membiarkan garis pantai Afrika Timur sepanjang 2300 km yang potensial terbengkalai begitu saja. Oleh karena itu Cina meningkatkan investasinya di Kepulauan Mourisius, dimana perusahaan Cina, Group Tian Li menginvestasikan dana sebesar USD $ 500 juta untuk membangun (markab shina’i) raksasa dengan bekerjasama dengan 40 perusahaan Cina lainnya dari berbagai bidang.
Statistik mengatakan bahwa Cina sudah ‘menelan’ hampir seluruh benua Afrika dari berbagai penjuru, Utara, Selatan, Timur dan Barat. Sehingga tidak ada lagi negara lain yang bisa menandinginya sesudah Afrifa menjadi ‘traktor’ yang menjamin ketahangan pangan bagi Cina dan menjadi komoditas utama gudangnya. Cina telah menginvestasikan dana di Al-Jazair sebesar 812 juta euro, di Sudan sebesar 15 miliar euro, di Chad sebesar 530 juta euro, Niger sebesar 330 juta euro dan di Guinea sebesar 69 juta euro. Meninjau besarnya volume investasi Cina di benua Afrika, bisa dikatakan bahwa benua Afrika di masa mendatang akan berbicara bahasa Cina dengan lancar (hahaha...) apabila Afrika tidak mempunyai bahasa kedua (2nd languages), kendati media massa masih fokus pada konflik (berebut pengaruh) antara AS dan Perancis di benua hitam tersebut. Akan tetapi ‘fakta dan data’ yang ada di depan mata menegaskan bahwa konflik tersebut telah masuk ke dalam ‘buku sejarah’ dan Cina buktinya telah menjadi kekuatan ekonomi yang menancap dalam di benua hitam tersebut. Bahkan dengan cara yang cerdas dan smooth tanpa gembar-gembor ‘dentuman bom dan kapal perang, juga tanpa mencari pangkalan militer kecuali hanya mencari yang mengenyangkan perut dan kantong, Cina sudah lbih dulu melahap ‘makanan’ isi perut benua Afrika.
Mohamed Saleh Majid,
Al-Arab Int., 17 Februari 2009.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar