Rabu, Maret 04, 2009
100 TAHUN KELAHIRAN PENYAIR LIBYA, IBRAHIM AL-ASTHA OMAR (1908-1950)
100 TAHUN KELAHIRAN PENYAIR LIBYA, IBRAHIM AL-ASTHA OMAR (1908-1950)
Sebagai penghargaan kepada budayawan dan tokoh intelektual nasional Libya, Dar al-Kutub al-Wathaniyah (semacam Balai Pustaka-nya Libya) memperingati 100 tahun kelahiran penyair dan pujangga Libya, Ibrahim Al-Astha Omar (1908-1950) pada tgl. 24 – 25 Februari 2009. Peringatan budaya dan sastra tersebut melibatkan para sastrawan Libya dengan membuat studi dan riset mengenai peran, karya dan kepenyairan Ibrahim A. Omar. Juga dilaksanakan malam seni, budaya dan otologi syair yang diikuti oleh para penyair Libya, antara lain, Rashid Zubeir, Azab Rakabi, Mohamed Mehdi, Haniyah Kadiki, Ragab Majiri, Rihab Sneib, Isham Farjani dan Abdul Hamid Bathaw. Tamu kehormatan pada malam ontologi tersebut adalah budayawan Libya, Ali Moustafa al-Misurati (diambil dari nama kota Misurata, - kota ketiga terbesar di Libya, setelah Tripoli dan Benghazi – dimana kumpulan cerpennya, ‘Abdel Karim Tahta al-Jisr’ [Abdel Karim..dibawah Jembatan], terbitan al-Muassasah al-Arabiyah li al-Nasyar wa al-Ibda’, Casablanca, Maroko sedang saya baca, disamping novel ‘Khirrijaat Qaryunes’ (Cewek-cewek Alumni Universitas Qaryunes), karya Aisha al-Ashfar, terbitan Dar al-Kutub al-Wathaniyah, Benghazi, Libya).
Ibrahim Al-Astha Omar dilahirkan di kota Darnah pada tahun 1908, dan bekerja di Bagian Bea dan Cukai. Kemudian ikut tes masuk kepegawaian kehakiman dan diangkat sebagai Hakim. Sempat memimpin cabang ’Jam’iyah Omar Mukhtar’ (Organisasi Omar Mukhtar) di kota kelahirannya Darnah. Kemudian dia mengembara dan merantau ke Mesir, Syria, Irak dan Jordania Timur. Di negeri-negeri tersebut, dia bertemu dan bergumul dengan tokoh sastrawan dan budayawan negara tersebut, disamping dia menjadi anggota Komite Pembela Barqa dan Tripoli di Damaskus. Pada tahun 1967 dia menerbitkan ontology puisinya, berjudul, ‘al-Bulbul wa al-Wakar’. Sastrawan dan budayawan Ali Moustafa al- Misurati juga menulis tentang Ibrahim A. Omar dengan judul, ‘Syair min Libya…Ibrahim Al-Astha Omar (Penyair dari Libya….Ibrahim A. Omar), terbit pada tahun 1957. Dia meninggal pada tgl. 26 September 1950.
Menurut Dr. Shaeed Abou Deeb bahwa Ibrahim A. Omar termasuk diantara penyair yang awal-awal merespon ‘al-Mahgar School’ dalam syair dan sastra ( salah seorang tokoh penyair ‘al-Mahgar School’ adalah Gubran Khalil Gubran, yang di Indonesia dikenal dengan ‘Kahlil Gibran, yang sebenarnya adalah nama ayahnya, penyair asal Lebanon yang menetap di AS. Dalam konteks ‘al-Mahgar School’ terdapat dua aliran, yaitu aliran Amerika Utara yang berpusat di AS, sekarang dan kedua aliran Amerika Latin yang berpusat di Brazilia). Respon tersebut nampak pada karya syair dan perenungannya melalui kontemplasi pergumulan dengan persoalan kemanusiaan dan kebebasan (al-insaniyah wa al-hurriyah). Ibrahim tercatat dalam sejarah dan biografinya, suatu sikap dan ekspresi nasionalisme yang dipertahankan dan, bahkan diperjuangkan hingga akhir hayatnya, seperti tema-tema, kebenaran (truth), kebebasan dan cinta tanah air. Hal ini yang membuat karya-karya kepenyairannya senantiasa up to date dan perennial.
Menurut Dr. Omar Khalifah bin Idris, Guru Besar Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Sastra, Universitas Qaryunes, Benghazi, Libya, bahwa Ibrahim A. Omar adalah seorang penyair sebagaimana penyalir lainnya, yang menulis berbagai tema kehidupan dan terlibat serta bergumul di dalamnya tentang kehidupan tersebut. Sedangkan tema nasionalisme dan idealisme, dsb, merupakan pintu gerbang keterkaitan dan ketersambungan sang penyair antara ‘wujdan’ dengan pembacanya. Romantika keindahan dan kepenyairannya, menurut penyair Mohamed al-Faqih Saleh, bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, romantisme-nasionalisme yang erat hubungannya dengan persoalan ‘wujdaan’ dalam kerangka penggempuran terhadap kejumudan, status quo, berjihad dan melawan keputusasaan. Kedua, kecenderungan tradisional yang berhubungan dengan kembalinya ‘si anak hilang’ ke pangkuan ibu pertiwi Libya setelah mengembara ke barbagai negara Arab dan keikutsertaannya pada pergerakan politik nasional, baik sebagai tokoh dan pemimpin pada sebagian gerakan melalui ‘Jam’iyah Omar Mukhtar’, sehingga kepenyairannya merefleksian – pada awalnya – kerinduan pada ‘wujdan dan zat’; kemudian melebar pada tema tradisonal – persoalan kehidupan umum masyarakat luas. Sedangkan menurut Dr. Nagia Maulud Kailani, dari Departemen Bahasa dan Sastra Arab, Universitas Al-Fateh, Tripoli mengatakan bahwa tema besar kepenyairan Ibrahim A. Omar mengungkapkan berbagai paradoks persoalan, akan tetapi secara umum yang menjadi tema utamanya adalah persoalan kemanusian dengan berbagai aspek pergumulannya. Manusia yang mengalami ‘humuum’ kehidupan dan juga ‘humuum’ orang lain.
Sumber, Al-Arab Int., 2 Maret 2009
Sebagai penghargaan kepada budayawan dan tokoh intelektual nasional Libya, Dar al-Kutub al-Wathaniyah (semacam Balai Pustaka-nya Libya) memperingati 100 tahun kelahiran penyair dan pujangga Libya, Ibrahim Al-Astha Omar (1908-1950) pada tgl. 24 – 25 Februari 2009. Peringatan budaya dan sastra tersebut melibatkan para sastrawan Libya dengan membuat studi dan riset mengenai peran, karya dan kepenyairan Ibrahim A. Omar. Juga dilaksanakan malam seni, budaya dan otologi syair yang diikuti oleh para penyair Libya, antara lain, Rashid Zubeir, Azab Rakabi, Mohamed Mehdi, Haniyah Kadiki, Ragab Majiri, Rihab Sneib, Isham Farjani dan Abdul Hamid Bathaw. Tamu kehormatan pada malam ontologi tersebut adalah budayawan Libya, Ali Moustafa al-Misurati (diambil dari nama kota Misurata, - kota ketiga terbesar di Libya, setelah Tripoli dan Benghazi – dimana kumpulan cerpennya, ‘Abdel Karim Tahta al-Jisr’ [Abdel Karim..dibawah Jembatan], terbitan al-Muassasah al-Arabiyah li al-Nasyar wa al-Ibda’, Casablanca, Maroko sedang saya baca, disamping novel ‘Khirrijaat Qaryunes’ (Cewek-cewek Alumni Universitas Qaryunes), karya Aisha al-Ashfar, terbitan Dar al-Kutub al-Wathaniyah, Benghazi, Libya).
Ibrahim Al-Astha Omar dilahirkan di kota Darnah pada tahun 1908, dan bekerja di Bagian Bea dan Cukai. Kemudian ikut tes masuk kepegawaian kehakiman dan diangkat sebagai Hakim. Sempat memimpin cabang ’Jam’iyah Omar Mukhtar’ (Organisasi Omar Mukhtar) di kota kelahirannya Darnah. Kemudian dia mengembara dan merantau ke Mesir, Syria, Irak dan Jordania Timur. Di negeri-negeri tersebut, dia bertemu dan bergumul dengan tokoh sastrawan dan budayawan negara tersebut, disamping dia menjadi anggota Komite Pembela Barqa dan Tripoli di Damaskus. Pada tahun 1967 dia menerbitkan ontology puisinya, berjudul, ‘al-Bulbul wa al-Wakar’. Sastrawan dan budayawan Ali Moustafa al- Misurati juga menulis tentang Ibrahim A. Omar dengan judul, ‘Syair min Libya…Ibrahim Al-Astha Omar (Penyair dari Libya….Ibrahim A. Omar), terbit pada tahun 1957. Dia meninggal pada tgl. 26 September 1950.
Menurut Dr. Shaeed Abou Deeb bahwa Ibrahim A. Omar termasuk diantara penyair yang awal-awal merespon ‘al-Mahgar School’ dalam syair dan sastra ( salah seorang tokoh penyair ‘al-Mahgar School’ adalah Gubran Khalil Gubran, yang di Indonesia dikenal dengan ‘Kahlil Gibran, yang sebenarnya adalah nama ayahnya, penyair asal Lebanon yang menetap di AS. Dalam konteks ‘al-Mahgar School’ terdapat dua aliran, yaitu aliran Amerika Utara yang berpusat di AS, sekarang dan kedua aliran Amerika Latin yang berpusat di Brazilia). Respon tersebut nampak pada karya syair dan perenungannya melalui kontemplasi pergumulan dengan persoalan kemanusiaan dan kebebasan (al-insaniyah wa al-hurriyah). Ibrahim tercatat dalam sejarah dan biografinya, suatu sikap dan ekspresi nasionalisme yang dipertahankan dan, bahkan diperjuangkan hingga akhir hayatnya, seperti tema-tema, kebenaran (truth), kebebasan dan cinta tanah air. Hal ini yang membuat karya-karya kepenyairannya senantiasa up to date dan perennial.
Menurut Dr. Omar Khalifah bin Idris, Guru Besar Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Sastra, Universitas Qaryunes, Benghazi, Libya, bahwa Ibrahim A. Omar adalah seorang penyair sebagaimana penyalir lainnya, yang menulis berbagai tema kehidupan dan terlibat serta bergumul di dalamnya tentang kehidupan tersebut. Sedangkan tema nasionalisme dan idealisme, dsb, merupakan pintu gerbang keterkaitan dan ketersambungan sang penyair antara ‘wujdan’ dengan pembacanya. Romantika keindahan dan kepenyairannya, menurut penyair Mohamed al-Faqih Saleh, bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, romantisme-nasionalisme yang erat hubungannya dengan persoalan ‘wujdaan’ dalam kerangka penggempuran terhadap kejumudan, status quo, berjihad dan melawan keputusasaan. Kedua, kecenderungan tradisional yang berhubungan dengan kembalinya ‘si anak hilang’ ke pangkuan ibu pertiwi Libya setelah mengembara ke barbagai negara Arab dan keikutsertaannya pada pergerakan politik nasional, baik sebagai tokoh dan pemimpin pada sebagian gerakan melalui ‘Jam’iyah Omar Mukhtar’, sehingga kepenyairannya merefleksian – pada awalnya – kerinduan pada ‘wujdan dan zat’; kemudian melebar pada tema tradisonal – persoalan kehidupan umum masyarakat luas. Sedangkan menurut Dr. Nagia Maulud Kailani, dari Departemen Bahasa dan Sastra Arab, Universitas Al-Fateh, Tripoli mengatakan bahwa tema besar kepenyairan Ibrahim A. Omar mengungkapkan berbagai paradoks persoalan, akan tetapi secara umum yang menjadi tema utamanya adalah persoalan kemanusian dengan berbagai aspek pergumulannya. Manusia yang mengalami ‘humuum’ kehidupan dan juga ‘humuum’ orang lain.
Sumber, Al-Arab Int., 2 Maret 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar