Sabtu, Maret 07, 2009
CINA MELUMAT HABIS AFRIKA
CINA MELUMAT AFRIKA
Kunjungan Presiden Cina, Hu Jin Tao Ke Afrika belum lama ini mengisyaratkan ’tagalgul’ dan pelalangbuanaan Cina di benua hitam tersebut dengan lebih kencang dan penetrasi lebih dalam tanpa gembar gembor. Pepatah Cina mengatakan, ’untuk mengambil harus tahu memberi’. Nampaknya pepatah sederhana ini telah berubah menjadi ’ penyemangat’ dalam mekanisme ekonomi Cina yang melompat menjadi propaganda yang dikampanyekan dalam perang ekonomi dilakukan dengan menggebu-gebu, dan jauh dari hingar bingar media setempat di Afrika, dimana pada waktu belum terlalu lama masih menjadi ’surga’ bagi Perancis dimana sebelumnya Inggris lebih menguasai pada masa pasca penjajahan fisik.
Di bawah bayangan krisis keuanan global, Cina tetap dan terus menggempur gurun pasir dan padang tandus Afrika, seolah-olah krisis keuangan global tidak terasa dan tidak ada. Buktinya, Presiden Hu Jin Tao melanglang buana memulai perjalannya ke Afrika, dimulai dari Senegal di ujung Barat, Mali di tengah, Tanzania dan Kepulauan Mourisius di Timur, dimana negara-negara tersebut memainkan peranan cukup penting dalam percaturan politik, ekonomi tradisonal dan sejarah - dalam dekade penjajahan Perancis dulu -dan sekarang menjadi negara demokrati. Apakah Cina akan menggantikan peran Perancis di Afrika yang sekarang telah mengendur perannya? Apakah Cina telah mendapatkan sumber-sumber ’harta karun’ Afrika – bahwa kendurnya Perancis di Afrika karena alasan-alasan ekonomi dan politis dan sekarang saatnya untuk memotong jalan dan membegalnya dengan tidak memberikan kesempatan bagi Perancis untuk kembali lagi ke Afrika?
Kendati Menlu Cina telah menegaskan di awal kunjungan Presiden Hu Jin Tao bahwa hubungan Cina dengan negara-negara Afrika, bukan hanya didasarkan pada kekayaan energi dan ’harta karun’ yang terpendam di perut bumi benua hitam tersebut semata, akan tetapi nilai dan volume investasi Cina di benua Afrika menandakan bahwa kekuatan ekonomi Afrika yang menanjak dengan segala konsekuensinya dan menggantikan posisi Perancis yang semakin jauh dari Afrika - didasarkan pada kepentingan politik Cina yang cerdas, smooth dan seimbang yang tidak dilepaskan dari iming-iming kepada para penguasa Afrika, termasuk mereka juga menolak intervensi asing terhadap masalah dalam negeri mereka. Hal ini berbeda dengan pola yang dilakukan Perancis terhadap negara-negara Arika khususnya, dan negara-negara Eropa pada umumnya, yang lebih mengetengahkan dan mempersoalkan – sesuai dengan maslahat dan kepentingan mereka dengan menggunakan tohoan masalah ’HAM’ sebagai tongkat dan cambuk - sebagai syarat diantara syarat-syarat investasi dan berinteraksi dengan penguasa Afrika yang ada.
Cina – disamping hal diatas – juga menguasai politik dan ekonomi benua Afrika yang saling menguntungkan (naf’iyyah). Kullu hammiha adalah mengadakan bagaimana mengadakan kontrak investasi jangka panjang (long investment) yang menggunakan semua mekanisme untuk mensukseskan tujuannya. Cina membangun infrastruktur dikawasan benua hitam tersebut seperti jalan raya sebagai jantung transportasi, jembatan, rumah sakit, membenahi lembaga-lembaga pemerintah dalam mengeimplementasikan saling mendapatkan manfaat yang akhirnya menjamin keuntungan yang sangat besar dalam jangka panjang (Politik mengambil hati).
Fleksibilitas Cina dalam mengadakan kerjasama dan hubungan dengan pemerintah Afrika, dimana mayoritas penguasa Afrika naik ke kekuasaan biasanya dengan jalan kekeraan seperti kudeta militer atau konflik etnis yang berkepanjangan – yang oleh masyarakat internasional dipandang dengan kacamata ’geram’, sehingga negara-negara Afrika bersedia melakukan investasi besar-besaran dengan Cina dan menganggapnya sebagai mitra yang dipercaya, karena persoalan tadi bahwa Cina tidak mencapuri urusan dalam negeri mereka (Afrika).
Cina memperlakukan Afrika sesuai dengan konsep strategi ekonomi yang ’milestone’nya sudah diagendakan pada KTT Cina-Afrika di Beijing Nopember 2006; lalu dari KTT tersebut muncul strategi dan taktik implementasi yang dilempar untuk mewujudkan beberapa sasaran dan target jangka pendek selama 3 tahun ke depan. Taktik ini didasarkan pada paradigma bagaimana ’menyabet’ dan menyapu semua harta karun ’Afrika’ melalui dukungan yang berlipat ganda kepada negara-negara Afrika dan menghapus hutang mereka sebanyak 168 buah hutang yang tersebar di 33 negara Afrika. Berkat sytrategi yang diterapkan tersebut, Cina telah berhasil melakukan kontrak dan kesepakatan dengan 48 buah negara Afrika dari 53 buah negara di benua Afrika (hanya 5 negara saja yang belum dirambah) dan berambisi pencapaian volume dan nilai perdagangannya sebesar USD $ 1 miliar, sehingga menjadi investor terbesar di Afrika dalam bidang infrastruktur.
Di Senegal, misalnya Cina masuk dalam industri baja (besi), fosfat dan emas. Group Henan telah memenangkan kontrak dalam pembangunan proyek jalan raya, jembatan dan bendungan (sungai); sedangkan perusahaan telcom Cina, Huawei co menguasai sektor telekomunikasi dan wireless di seluruh benua Afrika, disamping masuk dalam produksi minyak Senegal yang produksinya sudah mencapai 1 miliar barel. (Catatan: Libyan Telcom and Technology (LTT) telah melakukan kontrak dalam pengembangan jasa telkom di Libya dan mengembangkan WIMAX dalam bidang telekomunikasi dengan prusahaan Cina Huawei).
Di Mali, emas menjadi ‘garapan’ Cina, dimana Mali sebagai produsen emas terbesar ketiga di Afrika sesudah Afrika Selatan dan Ghana. Walaupun investasi di bidang ini biasanya dilakukan oleh Afrika Selatan dan Canada, sesungguhnya Cina sudah menancapkan kukunya lebih cepat dan mengambil harta karun serta kekayaan Mali hanya soal waktu saja, karena sesungguhnya Cina membiayai proyek besar produksi gula di Selatan negara tersebut setelah membuat proyek lain yaitu pabrik pemintalan dan produksi pakaian jadi yang siap ekspor.
Di Tanzania, Cina bisa meyakinkan pemerintah Tanzania untuk mengolah lahan sawah seluas 330 Ha untuk memproduksi padi dengan nilai investasi sebesar USD $ 143 juta. Cina mengharapkan dari proyek ini sebagai sumber jaminan ketahanan pangan baru Cina, dan selanjutnya Cina akan membuat 15 buah proyek serupa di Afrika. Cina juga tidak membiarkan garis pantai Afrika Timur sepanjang 2300 km yang potensial terbengkalai begitu saja. Oleh karena itu Cina meningkatkan investasinya di Kepulauan Mourisius, dimana perusahaan Cina, Group Tian Li menginvestasikan dana sebesar USD $ 500 juta untuk membangun (markab shina’i) raksasa dengan bekerjasama dengan 40 perusahaan Cina lainnya dari berbagai bidang.
Statistik mengatakan bahwa Cina sudah ‘menelan’ hampir seluruh benua Afrika dari berbagai penjuru, Utara, Selatan, Timur dan Barat. Sehingga tidak ada lagi negara lain yang bisa menandinginya sesudah Afrifa menjadi ‘traktor’ yang menjamin ketahangan pangan bagi Cina dan menjadi komoditas utama gudangnya. Cina telah menginvestasikan dana di Al-Jazair sebesar 812 juta euro, di Sudan sebesar 15 miliar euro, di Chad sebesar 530 juta euro, Niger sebesar 330 juta euro dan di Guinea sebesar 69 juta euro. Meninjau besarnya volume investasi Cina di benua Afrika, bisa dikatakan bahwa benua Afrika di masa mendatang akan berbicara bahasa Cina dengan lancar (hahaha...) apabila Afrika tidak mempunyai bahasa kedua (2nd languages), kendati media massa masih fokus pada konflik (berebut pengaruh) antara AS dan Perancis di benua hitam tersebut. Akan tetapi ‘fakta dan data’ yang ada di depan mata menegaskan bahwa konflik tersebut telah masuk ke dalam ‘buku sejarah’ dan Cina buktinya telah menjadi kekuatan ekonomi yang menancap dalam di benua hitam tersebut. Bahkan dengan cara yang cerdas dan smooth tanpa gembar-gembor ‘dentuman bom dan kapal perang, juga tanpa mencari pangkalan militer kecuali hanya mencari yang mengenyangkan perut dan kantong, Cina sudah lbih dulu melahap ‘makanan’ isi perut benua Afrika.
Mohamed Saleh Majid,
Al-Arab Int., 17 Februari 2009.
Kunjungan Presiden Cina, Hu Jin Tao Ke Afrika belum lama ini mengisyaratkan ’tagalgul’ dan pelalangbuanaan Cina di benua hitam tersebut dengan lebih kencang dan penetrasi lebih dalam tanpa gembar gembor. Pepatah Cina mengatakan, ’untuk mengambil harus tahu memberi’. Nampaknya pepatah sederhana ini telah berubah menjadi ’ penyemangat’ dalam mekanisme ekonomi Cina yang melompat menjadi propaganda yang dikampanyekan dalam perang ekonomi dilakukan dengan menggebu-gebu, dan jauh dari hingar bingar media setempat di Afrika, dimana pada waktu belum terlalu lama masih menjadi ’surga’ bagi Perancis dimana sebelumnya Inggris lebih menguasai pada masa pasca penjajahan fisik.
Di bawah bayangan krisis keuanan global, Cina tetap dan terus menggempur gurun pasir dan padang tandus Afrika, seolah-olah krisis keuangan global tidak terasa dan tidak ada. Buktinya, Presiden Hu Jin Tao melanglang buana memulai perjalannya ke Afrika, dimulai dari Senegal di ujung Barat, Mali di tengah, Tanzania dan Kepulauan Mourisius di Timur, dimana negara-negara tersebut memainkan peranan cukup penting dalam percaturan politik, ekonomi tradisonal dan sejarah - dalam dekade penjajahan Perancis dulu -dan sekarang menjadi negara demokrati. Apakah Cina akan menggantikan peran Perancis di Afrika yang sekarang telah mengendur perannya? Apakah Cina telah mendapatkan sumber-sumber ’harta karun’ Afrika – bahwa kendurnya Perancis di Afrika karena alasan-alasan ekonomi dan politis dan sekarang saatnya untuk memotong jalan dan membegalnya dengan tidak memberikan kesempatan bagi Perancis untuk kembali lagi ke Afrika?
Kendati Menlu Cina telah menegaskan di awal kunjungan Presiden Hu Jin Tao bahwa hubungan Cina dengan negara-negara Afrika, bukan hanya didasarkan pada kekayaan energi dan ’harta karun’ yang terpendam di perut bumi benua hitam tersebut semata, akan tetapi nilai dan volume investasi Cina di benua Afrika menandakan bahwa kekuatan ekonomi Afrika yang menanjak dengan segala konsekuensinya dan menggantikan posisi Perancis yang semakin jauh dari Afrika - didasarkan pada kepentingan politik Cina yang cerdas, smooth dan seimbang yang tidak dilepaskan dari iming-iming kepada para penguasa Afrika, termasuk mereka juga menolak intervensi asing terhadap masalah dalam negeri mereka. Hal ini berbeda dengan pola yang dilakukan Perancis terhadap negara-negara Arika khususnya, dan negara-negara Eropa pada umumnya, yang lebih mengetengahkan dan mempersoalkan – sesuai dengan maslahat dan kepentingan mereka dengan menggunakan tohoan masalah ’HAM’ sebagai tongkat dan cambuk - sebagai syarat diantara syarat-syarat investasi dan berinteraksi dengan penguasa Afrika yang ada.
Cina – disamping hal diatas – juga menguasai politik dan ekonomi benua Afrika yang saling menguntungkan (naf’iyyah). Kullu hammiha adalah mengadakan bagaimana mengadakan kontrak investasi jangka panjang (long investment) yang menggunakan semua mekanisme untuk mensukseskan tujuannya. Cina membangun infrastruktur dikawasan benua hitam tersebut seperti jalan raya sebagai jantung transportasi, jembatan, rumah sakit, membenahi lembaga-lembaga pemerintah dalam mengeimplementasikan saling mendapatkan manfaat yang akhirnya menjamin keuntungan yang sangat besar dalam jangka panjang (Politik mengambil hati).
Fleksibilitas Cina dalam mengadakan kerjasama dan hubungan dengan pemerintah Afrika, dimana mayoritas penguasa Afrika naik ke kekuasaan biasanya dengan jalan kekeraan seperti kudeta militer atau konflik etnis yang berkepanjangan – yang oleh masyarakat internasional dipandang dengan kacamata ’geram’, sehingga negara-negara Afrika bersedia melakukan investasi besar-besaran dengan Cina dan menganggapnya sebagai mitra yang dipercaya, karena persoalan tadi bahwa Cina tidak mencapuri urusan dalam negeri mereka (Afrika).
Cina memperlakukan Afrika sesuai dengan konsep strategi ekonomi yang ’milestone’nya sudah diagendakan pada KTT Cina-Afrika di Beijing Nopember 2006; lalu dari KTT tersebut muncul strategi dan taktik implementasi yang dilempar untuk mewujudkan beberapa sasaran dan target jangka pendek selama 3 tahun ke depan. Taktik ini didasarkan pada paradigma bagaimana ’menyabet’ dan menyapu semua harta karun ’Afrika’ melalui dukungan yang berlipat ganda kepada negara-negara Afrika dan menghapus hutang mereka sebanyak 168 buah hutang yang tersebar di 33 negara Afrika. Berkat sytrategi yang diterapkan tersebut, Cina telah berhasil melakukan kontrak dan kesepakatan dengan 48 buah negara Afrika dari 53 buah negara di benua Afrika (hanya 5 negara saja yang belum dirambah) dan berambisi pencapaian volume dan nilai perdagangannya sebesar USD $ 1 miliar, sehingga menjadi investor terbesar di Afrika dalam bidang infrastruktur.
Di Senegal, misalnya Cina masuk dalam industri baja (besi), fosfat dan emas. Group Henan telah memenangkan kontrak dalam pembangunan proyek jalan raya, jembatan dan bendungan (sungai); sedangkan perusahaan telcom Cina, Huawei co menguasai sektor telekomunikasi dan wireless di seluruh benua Afrika, disamping masuk dalam produksi minyak Senegal yang produksinya sudah mencapai 1 miliar barel. (Catatan: Libyan Telcom and Technology (LTT) telah melakukan kontrak dalam pengembangan jasa telkom di Libya dan mengembangkan WIMAX dalam bidang telekomunikasi dengan prusahaan Cina Huawei).
Di Mali, emas menjadi ‘garapan’ Cina, dimana Mali sebagai produsen emas terbesar ketiga di Afrika sesudah Afrika Selatan dan Ghana. Walaupun investasi di bidang ini biasanya dilakukan oleh Afrika Selatan dan Canada, sesungguhnya Cina sudah menancapkan kukunya lebih cepat dan mengambil harta karun serta kekayaan Mali hanya soal waktu saja, karena sesungguhnya Cina membiayai proyek besar produksi gula di Selatan negara tersebut setelah membuat proyek lain yaitu pabrik pemintalan dan produksi pakaian jadi yang siap ekspor.
Di Tanzania, Cina bisa meyakinkan pemerintah Tanzania untuk mengolah lahan sawah seluas 330 Ha untuk memproduksi padi dengan nilai investasi sebesar USD $ 143 juta. Cina mengharapkan dari proyek ini sebagai sumber jaminan ketahanan pangan baru Cina, dan selanjutnya Cina akan membuat 15 buah proyek serupa di Afrika. Cina juga tidak membiarkan garis pantai Afrika Timur sepanjang 2300 km yang potensial terbengkalai begitu saja. Oleh karena itu Cina meningkatkan investasinya di Kepulauan Mourisius, dimana perusahaan Cina, Group Tian Li menginvestasikan dana sebesar USD $ 500 juta untuk membangun (markab shina’i) raksasa dengan bekerjasama dengan 40 perusahaan Cina lainnya dari berbagai bidang.
Statistik mengatakan bahwa Cina sudah ‘menelan’ hampir seluruh benua Afrika dari berbagai penjuru, Utara, Selatan, Timur dan Barat. Sehingga tidak ada lagi negara lain yang bisa menandinginya sesudah Afrifa menjadi ‘traktor’ yang menjamin ketahangan pangan bagi Cina dan menjadi komoditas utama gudangnya. Cina telah menginvestasikan dana di Al-Jazair sebesar 812 juta euro, di Sudan sebesar 15 miliar euro, di Chad sebesar 530 juta euro, Niger sebesar 330 juta euro dan di Guinea sebesar 69 juta euro. Meninjau besarnya volume investasi Cina di benua Afrika, bisa dikatakan bahwa benua Afrika di masa mendatang akan berbicara bahasa Cina dengan lancar (hahaha...) apabila Afrika tidak mempunyai bahasa kedua (2nd languages), kendati media massa masih fokus pada konflik (berebut pengaruh) antara AS dan Perancis di benua hitam tersebut. Akan tetapi ‘fakta dan data’ yang ada di depan mata menegaskan bahwa konflik tersebut telah masuk ke dalam ‘buku sejarah’ dan Cina buktinya telah menjadi kekuatan ekonomi yang menancap dalam di benua hitam tersebut. Bahkan dengan cara yang cerdas dan smooth tanpa gembar-gembor ‘dentuman bom dan kapal perang, juga tanpa mencari pangkalan militer kecuali hanya mencari yang mengenyangkan perut dan kantong, Cina sudah lbih dulu melahap ‘makanan’ isi perut benua Afrika.
Mohamed Saleh Majid,
Al-Arab Int., 17 Februari 2009.
Rabu, Maret 04, 2009
100 TAHUN KELAHIRAN PENYAIR LIBYA, IBRAHIM AL-ASTHA OMAR (1908-1950)
100 TAHUN KELAHIRAN PENYAIR LIBYA, IBRAHIM AL-ASTHA OMAR (1908-1950)
Sebagai penghargaan kepada budayawan dan tokoh intelektual nasional Libya, Dar al-Kutub al-Wathaniyah (semacam Balai Pustaka-nya Libya) memperingati 100 tahun kelahiran penyair dan pujangga Libya, Ibrahim Al-Astha Omar (1908-1950) pada tgl. 24 – 25 Februari 2009. Peringatan budaya dan sastra tersebut melibatkan para sastrawan Libya dengan membuat studi dan riset mengenai peran, karya dan kepenyairan Ibrahim A. Omar. Juga dilaksanakan malam seni, budaya dan otologi syair yang diikuti oleh para penyair Libya, antara lain, Rashid Zubeir, Azab Rakabi, Mohamed Mehdi, Haniyah Kadiki, Ragab Majiri, Rihab Sneib, Isham Farjani dan Abdul Hamid Bathaw. Tamu kehormatan pada malam ontologi tersebut adalah budayawan Libya, Ali Moustafa al-Misurati (diambil dari nama kota Misurata, - kota ketiga terbesar di Libya, setelah Tripoli dan Benghazi – dimana kumpulan cerpennya, ‘Abdel Karim Tahta al-Jisr’ [Abdel Karim..dibawah Jembatan], terbitan al-Muassasah al-Arabiyah li al-Nasyar wa al-Ibda’, Casablanca, Maroko sedang saya baca, disamping novel ‘Khirrijaat Qaryunes’ (Cewek-cewek Alumni Universitas Qaryunes), karya Aisha al-Ashfar, terbitan Dar al-Kutub al-Wathaniyah, Benghazi, Libya).
Ibrahim Al-Astha Omar dilahirkan di kota Darnah pada tahun 1908, dan bekerja di Bagian Bea dan Cukai. Kemudian ikut tes masuk kepegawaian kehakiman dan diangkat sebagai Hakim. Sempat memimpin cabang ’Jam’iyah Omar Mukhtar’ (Organisasi Omar Mukhtar) di kota kelahirannya Darnah. Kemudian dia mengembara dan merantau ke Mesir, Syria, Irak dan Jordania Timur. Di negeri-negeri tersebut, dia bertemu dan bergumul dengan tokoh sastrawan dan budayawan negara tersebut, disamping dia menjadi anggota Komite Pembela Barqa dan Tripoli di Damaskus. Pada tahun 1967 dia menerbitkan ontology puisinya, berjudul, ‘al-Bulbul wa al-Wakar’. Sastrawan dan budayawan Ali Moustafa al- Misurati juga menulis tentang Ibrahim A. Omar dengan judul, ‘Syair min Libya…Ibrahim Al-Astha Omar (Penyair dari Libya….Ibrahim A. Omar), terbit pada tahun 1957. Dia meninggal pada tgl. 26 September 1950.
Menurut Dr. Shaeed Abou Deeb bahwa Ibrahim A. Omar termasuk diantara penyair yang awal-awal merespon ‘al-Mahgar School’ dalam syair dan sastra ( salah seorang tokoh penyair ‘al-Mahgar School’ adalah Gubran Khalil Gubran, yang di Indonesia dikenal dengan ‘Kahlil Gibran, yang sebenarnya adalah nama ayahnya, penyair asal Lebanon yang menetap di AS. Dalam konteks ‘al-Mahgar School’ terdapat dua aliran, yaitu aliran Amerika Utara yang berpusat di AS, sekarang dan kedua aliran Amerika Latin yang berpusat di Brazilia). Respon tersebut nampak pada karya syair dan perenungannya melalui kontemplasi pergumulan dengan persoalan kemanusiaan dan kebebasan (al-insaniyah wa al-hurriyah). Ibrahim tercatat dalam sejarah dan biografinya, suatu sikap dan ekspresi nasionalisme yang dipertahankan dan, bahkan diperjuangkan hingga akhir hayatnya, seperti tema-tema, kebenaran (truth), kebebasan dan cinta tanah air. Hal ini yang membuat karya-karya kepenyairannya senantiasa up to date dan perennial.
Menurut Dr. Omar Khalifah bin Idris, Guru Besar Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Sastra, Universitas Qaryunes, Benghazi, Libya, bahwa Ibrahim A. Omar adalah seorang penyair sebagaimana penyalir lainnya, yang menulis berbagai tema kehidupan dan terlibat serta bergumul di dalamnya tentang kehidupan tersebut. Sedangkan tema nasionalisme dan idealisme, dsb, merupakan pintu gerbang keterkaitan dan ketersambungan sang penyair antara ‘wujdan’ dengan pembacanya. Romantika keindahan dan kepenyairannya, menurut penyair Mohamed al-Faqih Saleh, bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, romantisme-nasionalisme yang erat hubungannya dengan persoalan ‘wujdaan’ dalam kerangka penggempuran terhadap kejumudan, status quo, berjihad dan melawan keputusasaan. Kedua, kecenderungan tradisional yang berhubungan dengan kembalinya ‘si anak hilang’ ke pangkuan ibu pertiwi Libya setelah mengembara ke barbagai negara Arab dan keikutsertaannya pada pergerakan politik nasional, baik sebagai tokoh dan pemimpin pada sebagian gerakan melalui ‘Jam’iyah Omar Mukhtar’, sehingga kepenyairannya merefleksian – pada awalnya – kerinduan pada ‘wujdan dan zat’; kemudian melebar pada tema tradisonal – persoalan kehidupan umum masyarakat luas. Sedangkan menurut Dr. Nagia Maulud Kailani, dari Departemen Bahasa dan Sastra Arab, Universitas Al-Fateh, Tripoli mengatakan bahwa tema besar kepenyairan Ibrahim A. Omar mengungkapkan berbagai paradoks persoalan, akan tetapi secara umum yang menjadi tema utamanya adalah persoalan kemanusian dengan berbagai aspek pergumulannya. Manusia yang mengalami ‘humuum’ kehidupan dan juga ‘humuum’ orang lain.
Sumber, Al-Arab Int., 2 Maret 2009
Sebagai penghargaan kepada budayawan dan tokoh intelektual nasional Libya, Dar al-Kutub al-Wathaniyah (semacam Balai Pustaka-nya Libya) memperingati 100 tahun kelahiran penyair dan pujangga Libya, Ibrahim Al-Astha Omar (1908-1950) pada tgl. 24 – 25 Februari 2009. Peringatan budaya dan sastra tersebut melibatkan para sastrawan Libya dengan membuat studi dan riset mengenai peran, karya dan kepenyairan Ibrahim A. Omar. Juga dilaksanakan malam seni, budaya dan otologi syair yang diikuti oleh para penyair Libya, antara lain, Rashid Zubeir, Azab Rakabi, Mohamed Mehdi, Haniyah Kadiki, Ragab Majiri, Rihab Sneib, Isham Farjani dan Abdul Hamid Bathaw. Tamu kehormatan pada malam ontologi tersebut adalah budayawan Libya, Ali Moustafa al-Misurati (diambil dari nama kota Misurata, - kota ketiga terbesar di Libya, setelah Tripoli dan Benghazi – dimana kumpulan cerpennya, ‘Abdel Karim Tahta al-Jisr’ [Abdel Karim..dibawah Jembatan], terbitan al-Muassasah al-Arabiyah li al-Nasyar wa al-Ibda’, Casablanca, Maroko sedang saya baca, disamping novel ‘Khirrijaat Qaryunes’ (Cewek-cewek Alumni Universitas Qaryunes), karya Aisha al-Ashfar, terbitan Dar al-Kutub al-Wathaniyah, Benghazi, Libya).
Ibrahim Al-Astha Omar dilahirkan di kota Darnah pada tahun 1908, dan bekerja di Bagian Bea dan Cukai. Kemudian ikut tes masuk kepegawaian kehakiman dan diangkat sebagai Hakim. Sempat memimpin cabang ’Jam’iyah Omar Mukhtar’ (Organisasi Omar Mukhtar) di kota kelahirannya Darnah. Kemudian dia mengembara dan merantau ke Mesir, Syria, Irak dan Jordania Timur. Di negeri-negeri tersebut, dia bertemu dan bergumul dengan tokoh sastrawan dan budayawan negara tersebut, disamping dia menjadi anggota Komite Pembela Barqa dan Tripoli di Damaskus. Pada tahun 1967 dia menerbitkan ontology puisinya, berjudul, ‘al-Bulbul wa al-Wakar’. Sastrawan dan budayawan Ali Moustafa al- Misurati juga menulis tentang Ibrahim A. Omar dengan judul, ‘Syair min Libya…Ibrahim Al-Astha Omar (Penyair dari Libya….Ibrahim A. Omar), terbit pada tahun 1957. Dia meninggal pada tgl. 26 September 1950.
Menurut Dr. Shaeed Abou Deeb bahwa Ibrahim A. Omar termasuk diantara penyair yang awal-awal merespon ‘al-Mahgar School’ dalam syair dan sastra ( salah seorang tokoh penyair ‘al-Mahgar School’ adalah Gubran Khalil Gubran, yang di Indonesia dikenal dengan ‘Kahlil Gibran, yang sebenarnya adalah nama ayahnya, penyair asal Lebanon yang menetap di AS. Dalam konteks ‘al-Mahgar School’ terdapat dua aliran, yaitu aliran Amerika Utara yang berpusat di AS, sekarang dan kedua aliran Amerika Latin yang berpusat di Brazilia). Respon tersebut nampak pada karya syair dan perenungannya melalui kontemplasi pergumulan dengan persoalan kemanusiaan dan kebebasan (al-insaniyah wa al-hurriyah). Ibrahim tercatat dalam sejarah dan biografinya, suatu sikap dan ekspresi nasionalisme yang dipertahankan dan, bahkan diperjuangkan hingga akhir hayatnya, seperti tema-tema, kebenaran (truth), kebebasan dan cinta tanah air. Hal ini yang membuat karya-karya kepenyairannya senantiasa up to date dan perennial.
Menurut Dr. Omar Khalifah bin Idris, Guru Besar Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Sastra, Universitas Qaryunes, Benghazi, Libya, bahwa Ibrahim A. Omar adalah seorang penyair sebagaimana penyalir lainnya, yang menulis berbagai tema kehidupan dan terlibat serta bergumul di dalamnya tentang kehidupan tersebut. Sedangkan tema nasionalisme dan idealisme, dsb, merupakan pintu gerbang keterkaitan dan ketersambungan sang penyair antara ‘wujdan’ dengan pembacanya. Romantika keindahan dan kepenyairannya, menurut penyair Mohamed al-Faqih Saleh, bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, romantisme-nasionalisme yang erat hubungannya dengan persoalan ‘wujdaan’ dalam kerangka penggempuran terhadap kejumudan, status quo, berjihad dan melawan keputusasaan. Kedua, kecenderungan tradisional yang berhubungan dengan kembalinya ‘si anak hilang’ ke pangkuan ibu pertiwi Libya setelah mengembara ke barbagai negara Arab dan keikutsertaannya pada pergerakan politik nasional, baik sebagai tokoh dan pemimpin pada sebagian gerakan melalui ‘Jam’iyah Omar Mukhtar’, sehingga kepenyairannya merefleksian – pada awalnya – kerinduan pada ‘wujdan dan zat’; kemudian melebar pada tema tradisonal – persoalan kehidupan umum masyarakat luas. Sedangkan menurut Dr. Nagia Maulud Kailani, dari Departemen Bahasa dan Sastra Arab, Universitas Al-Fateh, Tripoli mengatakan bahwa tema besar kepenyairan Ibrahim A. Omar mengungkapkan berbagai paradoks persoalan, akan tetapi secara umum yang menjadi tema utamanya adalah persoalan kemanusian dengan berbagai aspek pergumulannya. Manusia yang mengalami ‘humuum’ kehidupan dan juga ‘humuum’ orang lain.
Sumber, Al-Arab Int., 2 Maret 2009
Langganan:
Postingan (Atom)