Minggu, September 02, 2012
Selamat Jalan Jo! Inna Lillahi Wainna Ilayhi Rajiun
Selamat Jalan Jo! Inna Lillahi Wainna Ilayhi Rajiun
Bahwa kematian pasti datang kepada siapapun, termasuk kita semua makhluk hidup. Hanya menunggu absensi malaikat pencabut nyawa saja kapan datang menghampirinya. Pertanyaannya adalah siapkah kita menyambut kematian itu?. Kadang kala kematian itu datang kepada bayi, kadang datang kepada balita, kadang kepada remaja dan ABG, dan pula kepada orang dewasa. Kematian itu juga datang berlama-lama dengan sakit menahun namun tidak sedikit yang datangnya sekonyong-konyon dan tiba-tiba. Contoh aktualnya misalnya siapa sangka Direktur Corporate Affairs PT Adaro Energy, Andre J. Mamuaya yang segar bugar dan sehat wal afiat pada hari kedua lebaran yang lalu (21/8) mengalami kecelakaan motor besar yang ditumpanginya dan merenggut nyawanya. Tentu bagi keluarga yang ditinggalnya boleh jadi sangat terpukul akibat kejadian yang sekonyong-konyong tiba. Tapi, itulah kematian. Ia datang kapan saja, dimana saja dan kepada siapa saja, tanpa pandang bulu.
Kemarin sore, ketika saya menunggu berbuka puasa Syawalan terakhir hari ke-enam, tiba-tiba suara HP saya berdiring menandakan sebuah SMS masuk. Ketika saya buka isinya sungguh mencengangkan. Isinya berita duka mengenai kematian sahabat saya. Maka lamunanpun menerawang ke sebuah masa dimana kami dulu masih bersama-sama. Isi SMS tersebut berbunyi, “Inna Lillahi wa inna ilaihi raji’un. Telah meninggal dunia al-ustadz H. ABDULLAH TAMIMY, Lc, di Medan. Jenazah akan dibawa setelah zuhur dan dikebumikan di Tebing Tinggi Sumut hari ini (25/8) jam 17.30“. Nampaknya SMS tersebut sebuah forward dari kawan di Medan yang dikirimkan kepada saya oleh kawan yang berada di Jakarta.
Abdullah Tamimy, yang biasa kami panggil dengan panggilan singkat ‘Jo’, adalah sahabat saya ketika kami sama-sama nyantri di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir. Kebetulan saya satu fakultas dan satu angkatan. Anak muda Medan yang berperawakan sedang, kulit sawo matang, rambut ikal dan selalu agak panjang yang rajin kuliah serta humoris, selalu riang dan suka tertawa. Terus terang, saya kalah rajin dengan Jo dalam menghadiri kuliah dan juga mencari info dosen-dosen yang mengajar. Saya selalu mendapatkan informasi awal dari dia. Seperti, Dr. Abdul Mun’im Qi’i masuk di ruangan anu dan mengajar mata kuliah Ulumul Quar’an. Prof. Dr. Abdul Mun’im Al-Qi’i pada waktu menjabat sebagai Kajur Tafsir di Fakultas Ushuluddin Al-Azhar. Beliau adalah salah seorang dosen killer. Beliau mengajar kami mata kuliah ‘Ulum al-Qur’an’ (Ilmu-Ilmu Al-Qur’an) dengan buku standar karangan beliau dan ketika di Pasca Sarjana kitab standarnya adalah ‘Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an’ karya Imam Suyuthi (Sayuti), seorang ulama besar dari kota Asiyut Mesir. Kendati Dr. Qi’i seorang yang ‘kafif’ (maaf, rabun dan tidak jelas melihat), beliau boleh dibilang hafal huruf per huruf karyanya tersebut dan buku yang diajarkannya. Karena memang beliau seorang pakar di bidang tersebut dan masalahnya juga sangat ‘daqiq’ (detail dan besar) dalam persoalan masalah-masalah yang menyangkut ilmu-ilmu mengenai Al-Qur’an. (Saya heran di Indonesia, yang baru jadi sarjana S1 saja sudah berani berpendapat bermacam-macam soal makna ayat Al-Qur’an, yang saya yakin masih dangkal dalam soal itu. Diantaranya pernah saya kritik dengan pedas. Namun, lama-lama kelamaan sayapun malas melakukannya karena selalu ‘mencuci’ pendapat-pendapat yang ngelantur sebagaimana banyak ditulis oleh Kompasaner dalam soal agama). Hampir semua dosen yang akan mengajar Jo selalu memberitahu saya. Selalu dia bilang, besok Dr. Masmu’ mengajar jam 8 pagi di ruang anu; Dr. Jum’ah di mudarraj (aula atau hall), Dr. Abdul Muhdi di ruang sekian, dsb. Saat ini pun saya jadi teringat dan mengenang dosen-dosen saya semuanya sudah bergelar doktor dan professor itu jadinya. Saya masih teringat wajah Dr. Masmu’ yang kalem namun jarang senyum itu, galak sama mahasiswa Mesir namun ramah kepada mahasiswa asing. Saya jadi teringat Dr. Jum’ah yang berawakan pendek tegap, bersuara lantang walau ngajar di mudarraj tanpa penegras suara, namun terdengar hingga ke belakang. Saya saja yang setiap saat menggunakan load speaker namun suara saya tidak sampai ke belakang jauh. Dr. Jum’ah ini juga seorang yang ‘kafif’ (buta), namun tahu para mahasiswa yang tidak serius menyimak. Masya Allah. Mata hati rata-rata dosen kami memang begitu. Apakah karena keikhlasan mereka mengajar. Boleh jadi!
Selain itu juga, Jo selalu memberitahu saya soal buku-buku muqarrar yang sudah naik cetak dan dapat diambil di koperasi Fakultas. Di Al-Azhar setiap dosen diwajibkan menulis teksbook (muqarrar) yang dipakai sebagai bahan kuliah. Jadi, setiap tahun dan maddah (mata kuliah) bukunya selalu berubah dan bahkan tidak sedikit yang bukunya lebih dari satu buah untuk setiap mata kuliah. Hampir semua itu, ruang kelas dosen mengajar dan informasi mengenai perkuliahan, Jo tidak pernah lupa memberitahu kawan-kawan yang lain termasuk saya tentunya.
Sisi lain kelemahan Jo adalah tidak bisa makan makanan sembarangan. Dia hampir setiap hari menanak nasi di asrama. Asrama mahasiswa asing Al-Azhar (namanya Madinat al-Bu’uts al-Islamiah, biasa disingkat ‘Bu’uts) memang memberikan sarapan dan makan siang saja bagi mahasiswa, sedang makan malam tidak disediakan. Sehingga mahasiswa mencari sendiri pola makannya masing-masing. Saya seringnya makan di kantin asrama dengan menu yang seadanya ala Mesir. Tapi juga sering makan malam bersama Jo dan kawan-kawan yang lain, terutama ketika memasak menu khusus seperti kaki kambing, yang kami sebut ‘kawarie’, bahasa Arabnya. Biasanya kami beli dan pesan pagi ketika hendak kuliah dan kami ambil siang atau sore hari sepulang kuliah di belakang Masjid Al-Azhar. Soal memasak ‘kawarie’ ini, mahasiswa Al-Azhar memang jagonya. Sudah cukup banyak saya tulis kisah-kisah seputar ini di Kompasiana ini.
Ketika di semester terakhir saya punya persoalan personal yang membuat segen dan males belajar. Dia pun mengajak saya belajar bersama-sama dengan kawan yang lain, mendiskusikan mata-mata kuliah yang ada. Dia bilang, kamu dengerin aja. Gak usah repot-repot. Alhamdulillah saya sukses lulus dan dia juga. Kami mendapat gelar ‘Lc’, sebuah gelar khas alumni Timur Tengah. Memang ada seorang teman yang tidak lulus dalam kelompok belajar kami, dan semacam protes kenapa saya yang cuma dengerin saja kok lulus. Alhamdulillah, Allah begitu sayang pada saya.
Suatu ketika saya pernah menanyakan soal namanya yang ada ‘Tamimy’nya. Itu kan nama sebuah suku terkenal di Jazirah Arab, kata saya. Apa hubungannya dengan kamu? Kok punya marga Tamimy atau berasal dari Suku Tamim atau Bani Tamim. Diapun berkisah bahwa ayahnya dulu pernah kedatangan tamu seorang wartawan Timur Tengah yang bernama Abdullah Tamimy. Maka ketika aku lahir, akupun diberi nama wartawan tadi, sehingga begitulah namaku jadinya.
Banyak kisah menarik saya bersama Ustaz H. Abdullah Tamimy, Lc ini. Yang tidak dapat saya lupakan antara lain pada suatu ketika kami ada kuliah sore/petang. Pastinya kami harus makan terlebih dahulu (makan siang). Saya ajak dia makan ‘tha’miyah’ (makanan rakyat jelata Mesir). Esoknya dia, sakit perut dan mules-mules. Kawan-kawan yang lain, sambil tertawa bilang sama saya, “Jo, luh ajak makan apa? Dia sakit perut dan mules-mules. Sejak itu saya tidak mau ajak lagi dia makan di luar, kecuali beli kawarie tadi dan masak di kamar dengan menyantap rame-rame.
Tentunya, kepergian sahabat Jo ini, saya wabil khusus kehilangan teman akrab dan baik. Saya mendoakan semoga amal ibadahnya diterima disisi Allah swt dan arwahnya ditempatkan di tempat yang terbaik. Kiprah terakhir beliau adalah menjadi dosen dan uztaz di Medan. Walaupun secara fisik saya tidak pernah bertemu sejak perpiasahan saya dengannya, namun informasi tentang dia juga saya dapatkan dari kawan-kawan yang lain karena selama ini saya lebih banyak menghabiskan usia saya di timur tengah. Terakhir dia dan kawan-kawan mengantar saya ke airport Kairo ketika saya hendak terbang ke Islamabad untuk melanjutkan kuliah saya disana. Sayapun menjadi terbayang-bayang lagi wajahnya ketika kami berfoto ria di airport tersebut. Sebuah kenangan di suatu masa dan di suatu keadaan ketika kami masih mahasiswa dan muda.
Inna Lillahi wa inna ilayhi raji’un. Selamat jalan Ustaz Abdullah Tamimy, Lc. Kamipun yang hidup ini pasti menyusul keharibaan-Nya kelak.
salam damai,,
lihat juga:
http://sosok.kompasiana.com/2012/08/26/selamat-jalan-jo-inna-lillahi-wainna-ilayhi-rajiun/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar